Membaca Dea Anugrah, Membaca Kedunguan Diri Sendiri
Judul Buku : Hidup Begitu Indah
dan Hanya Itu yang Kita Punya
Penulis : Dea Anugrah
Penerbit : Buku Mojok
Tahun : 2019
Manusia yang memilih untuk pesimis adalah dia yang akan melihat dunia
menjadi lebih indah dan luas. Manusia pesimis tidak akan kaget ketika realita
yang ada ternyata jauh dari harapan. "Orang," kata Dea Anugrah pada
salah satu sesi wawancaranya dengan media Kumparan, "bisa melihat
keindahan hidup kalau dia pesimistis, kalau dia optimistis, dia nggak siap
kecewa." Menurutnya, optimisme lahir dari sebuah keputusasaan.
Dunia ideal, pernah juga Dea Anugrah ceritakan di dalam tulisan “Hidup
Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya” miliknya, yang pada tahun 2019 ini terbit
menjadi sebuah buku dengan judul yang sama dan sudah dicetak ulang sebanyak
tiga kali. Di dalam buku bergenre nonfiksi tersebut ia menulis sebanyak 20
tulisan, yang pertama kali terbit di Tirto.id dalam rentang 2016-2018, kecuali
tulisan “Efek Proust” yang diterbitkan di Pindai pada 2015. Dan di dalam
tulisan-tulisan nonfiksinya ini, ia mampu membuat para pembacanya – setidaknya saya – kagum dengan gayanya dalam bercerita. Enak
sekali menikmati setiap lembar demi lembarnya, menggambarkan bagaimana luasnya wawasan
dan bacaan-bacaan Dea Anugrah. Saya kagum dengan pemilihan dan penyusunan kata-katanya.
Aan Mansyur, penulis kumpulan puisi “Melihat Api Bekerja” itu, juga menulis
bahwa membaca buku milik Dea Anugrah ini adalah kegembiraan. “Kegembiraan membaca
buku ini bersumber dari salah satunya, kalimat-kalimatnya yang kuat dan indah
dan penuh perhitungan,” tulisnya seperti dikutip dari blog Dea Anugrah; Sonder
Ketemu, Sonder Mendarat. “Tidak banyak penulis Indonesia yang memiliki
kemampuan mencipta dan merangkai kalimat seperti Dea Anugrah.”
Membaca Dea Anugrah, bagi saya adalah sama saja dengan membaca kedunguan
diri sendiri. Semakin banyak orang membaca, maka semakin banyak pula orang itu
mengetahui bahwa masih banyak pula yang belum ia baca. Seperti kata Pramoedya
Ananta Toer dalam memoarnya “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”. “Kemudian aku ketahui,”
tulis Pram, “bahwa semakin banyak orang membaca, semakin tahu bahwa terlalu
banyak yang belum dibaca, makin banyak aku ketahui, bahwa terlalu banyak banyak
yang tidak aku ketahui.” Dan saya menjadi satu dari sekian banyak orang yang
merasakan hal tersebut.
Salah satu hal yang membuat saya senang dan tertarik ketika membaca buku
ini, yakni pada halaman-halaman awal pembaca sudah disambut dengan penggunaan
sudut pandang orang kedua yang apik dalam tulisan “Terbenam dalam Waktu yang
Hilang”. Kemudian dalam buku nonfiksi miliknya ini, Dea Anugrah mampu
membicarakan – jika mengutip dari sampul belakang bukunya – mulai dari perang
sampai industri pisang, dari kesedihan kolektif sebuah bangsa hingga seni
membikin senang bagian tubuh tertentu, dengan apik dan runtut di setiap tulisan.
Meski begitu, beberapa kali juga ketika membaca buku ini, saya harus
pelan-pelan dan mengucilkan diri dari suara-suara bising. Butuh konsentrasi,
hehehe.
Setelah membaca buku “Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya”,
saya menjadi tertarik untuk membaca buku Dea Anugrah yang lain; Bakat
Menggonggong (2016) dan Misa Arwah (2015). Atau dengan mencari tahu lebih dalam
lagi tentang Georg Eberhard Rumpf, yang kisah hidupnya membuat mbrebes mili. Atau dengan mencari tahu
dan membaca lebih banyak lagi tentang karya-karya Marcel Proust, Alejandro
Zambra, dan Ernest Hemingway – penulis favorit Dea Anugrah. Atau lebih jauh
lagi, mungkin ketika saya menemani adik laki-laki saya bercukur di sebuah
barbershop, saya akan lebih banyak mengamati interior di dalamnya.
Hingga pada akhirnya, membaca Dea Anugrah adalah membaca kedunguan diri sendiri.
Membaca Dea Anugrah sama dengan membaca ingatan yang tajam dan berisi. Membaca Dea
Anugrah sama dengan membaca keindahan bertutur tanpa menggurui. Setidaknya bagi
saya hehe.
Komentar
Posting Komentar