Hercules dan Lain-Lain


Pagi-pagi sekali kalian sudah sampai di Pangkalan TNI AU Adisucipto. Jalanan Jogja terkhusus menuju bandara sudah ramai sesak dengan kendaraan yang mungkin sama-sama mengejar penerbangan pagi. Padahal waktu masih pukul 05.00 pagi. Waktu di mana umumnya manusia-manusia lain masih mengerjakan pekerjaan pagi; ibadah pagi, menyapu halaman, dan menyiram tanaman. Tetapi pagi itu, pagi 21 Juli 2018, kamu dan 28 temanmu yang lain sudah harus bersiap di lapangan terbang untuk berangkat menuju Tarakan, Kalimantan Utara.
                Pada pertengahan bulan Juli hingga September 2018 lalu kamu sedang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Sebatik. Tepatnya di Desa Liang Bunyu, Kecamatan Sebatik Barat, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Sebelumnya, hampir enam bulan sejak Januari 2018 kamu bersama teman-temanmu itu disibukkan dengan persiapan pemberangkatan. Sebagaimana dengan film “Tanah Surga, Katanya” yang pernah kamu tonton jauh-jauh hari sebelumnya, tentang daerah perbatasan dua negara, Indonesia dan Malaysia, kamu selalu antusias jika mengingat pemberangkatan ke sana sebentar lagi akan tiba. Dan kamu akan merasakan apa yang ada di cerita film tersebut, pikirmu.
                Teman-temanmu selalu berkata bahwa untuk berangkat ke lokasi KKN, kalian akan menggunakan pesawat untuk mencapai Tarakan, Kalimantan Utara dan dilanjut menggunakan kapal feri selama satu malam untuk menyeberang dari Tarakan menuju Pulau Sebatik. Sebetulnya, bisa saja kalian menggunakan kapal untuk perjalanan dari Jawa Timur menuju Pulau Sebatik secara penuh, tetapi tentu akan memakan waktu lebih lama lagi (kurang lebih satu minggu). Sebagai manusia yang belum pernah merasakan aroma pesawat dan empuknya tempat duduk pesawat, kamu tambah antusias mendengar rencana tersebut.
                Rencana pemberangkatan kalian menggunakan pesawat komersil melalui Jakarta pada pertengahan Juli 2018. Kemudian diubah menjadi tanggal 21 Juli 2018 dan kalian akan ‘numpang’ pada pesawat hercules milik TNI AU, yang kebetulan akan ada acara di Tarakan pada hari yang sama. Nasib baik. “Enak betul,” kata orang-orang di sekitarmu, “kamu ini nggak pernah naik pesawat, sekalinya naik pesawat eh langsung hercules.”
Namun setelah kamu merasakan ‘sensasi’ naik hercules dari Jogja menuju Tarakan, kamu seakan ingin menepis perkataan mereka. “Lebih enak naik pesawat komersil, sepertinya. Naik hercules aku harus duduk di ekor pesawat karena pesawat penuh dengan rombongan TNI AU. Sakit sepunggung,” katamu agak angkuh.  
Kemudian kamu berpikir, sebagai manusia, kamu sudah sepatutnya untuk bersyukur dengan semua yang ada. Kamu dan teman-teman sudah bisa berangkat menuju lokasi KKN, kamu dan teman-teman bisa melaksanakan program kerja yang tertunda, pada dasarnya semua itu sudah sepatutnya untuk disyukuri. Toh, setelah itu, semua hal-hal yang kamu lakukan di sana, dari yang ringan hingga yang berat juga akan kamu kenang dengan suka cita kemudian. Seperti apa yang pernah Dea Anugrah katakan dan tulis di bukunya yang pernah kamu baca, hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya. Dan pengalaman naik hercules sudah barang tentu menjadi pengalaman yang indah.
Perjalananmu menuju Tarakan dari Jogja menggunakan hercules menghabiskan waktu selama tiga jam. Itu artinya, selama tiga jam itu pula kamu harus menikmati dinginnya besi hercules. Di depanmu, tiga orang temanmu tertidur enak sekali. Meski sama-sama di ekor pesawat, mereka mendapatkan tempat yang cukup strategis untuk tidur. Beralaskan kardus. Dan ketika mereka tertidur, praktis kamu tidak mempunyai teman berbicara di atas sana, kecuali bapak TNI yang sibuk melihat ponselnya. Dan kalian hanya sempat mengobrol tentang tujuan perjalanan masing-masing.
Lebih jauh di depanmu, tepatnya di bagian bawah dan di depan tumpukan tas dan barang-barang kalian, teman-temanmu ada yang berdiri, ada pula yang mencuri jongkok dan mencari tempat ternyamannya untuk mencoba duduk. Di antara kumpulan teman-temanmu yang berdesakan dengan barang-barang, kamu juga melihat si Opiq. Temanmu satu itu sedang sibuk menjaga kamera kesayangannya agar tidak ikut terdesak dengan barang-barang lain. Ia memang mencintai barang-barangnya melebihi dirinya sendiri, kelihatannya. Dan di dekat jendela, kamu melihat teman-temanmu berdiri dan menikmati pemandangan awan melalui kaca jendela. Sedap sekali seperti pembuatan video klip. Sedang di ekor pesawat sana, kamu berusaha untuk mengabadikan momen langka tersebut melalui ponselmu, tapi terhalang dengan kualitas kamera ponsel milikmu yang menyedihkan.  
                Beda berangkat, beda pula saat pulang. Satu minggu sebelum pulang, kamu dan teman-temanmu sudah sibuk mencari tiket pesawat untuk pulang. Sebagai manusia yang belum memiliki pengalaman yang memadai terkait pesan memesan tiket, kamu hanya diam dan terima jadi. Sesekali memastikan, kalau-kalau korlapmu, si Abi, usil tidak membelikan kamu tiket pulang dan kamu dibiarkan tinggal di lokasi kkn lebih lama. Tetapi tentu saja itu hanya kekhawatiranmu belaka.
                Minggu 9 September 2018. Bandara Juwata, Tarakan saat itu tidak begitu ramai meski hari itu adalah hari Minggu. Dan setelah melakukan rangkaian check in dan boarding, dengan arahan teman-temanmu tentunya, kamu mulai memasuki pesawat dan mencari tempat duduk sesuai tiket yang kamu pegang. Lalu kamu duduk ketika tempat duduk yang kamu cari sudah kamu dapatkan. Satu menit, dua menit, tiga menit, lima menit kamu menunggu teman kamu untuk duduk di sampingmu. Tak ada juga. Kamu lihat sekeliling, si Pipit, Yumba, dan Fina duduk di deretan sendiri-sendiri dan sama seperti posisi dudukmu; di samping kaca jendela pas. “Kok aku duduk sendiri, Bi?” tanyamu heran.
                “Lah kan katanya kemarin,” jawab Abi dengan sikapnya yang prengas prenges, “kamu kepengen duduk di samping jendela. Pipit juga.” Mendengar itu, kamu langsung terdiam, mencoba menyerap arti di balik perkataan Abi. “Jadi, aku duduk di sini sendiri?” tanyamu memastikan dan disusul dengan anggukan kepala Abi.
                Dan satu tahun setelah hari itu, sejauh dua ribuan kilometer dari Tarakan, kini giliran ayahmu yang ingin menggunakan pesawat. Sebagai anak yang baik, kamu tentu tidak diam saja ketika melihat ayahmu sedang kebingungan setelah menelepon sebuah agen perjalanan untuk menanyakan tiket pesawat menuju lokasi tujuannya. Harganya tinggi-tinggi. Lalu kamu berinisiatif untuk mengunduhkan aplikasi pemesanan tiket online di ponsel ayahmu. Sebagai manusia yang pernah naik pesawat dan bermodal pengetahuan tipis-tipis, kamu kemudian membantu membelikan tiket pesawat untuk ayahmu.
                Setelah pemesanan online selesai dilakukan, kamu dan ayahmu kemudian pergi ke sebuah minimarket untuk melakukan pembayaran tiket. Di perjalanan tersebut, kamu kemudian memikirkan sebuah pesan yang selalu terkenang pada saat kamu berada di sekolah dasar hingga sekolah menengah melalui buku yang sering kamu baca; pengalaman adalah guru terbaik. Dadi iso nggaya sitik saiki.

Komentar