#2: Kadesku, Pahlawanku


Malam Perpisahan bersama Warga Liang Bunyu

Beberapa hari yang lalu, seorang kawan saya yang dulu pernah tinggal satu atap saat ibadah Kuliah Kerja Nyata (KKN) mengunggah beberapa foto kenangan KKN kami di instagram. Tentunya dilengkapi dengan keterangan foto yang memaksa pikiran saya untuk terbang melintasi beberapa bulan yang lalu, kemudian singgah di rentang akhir Juli hingga September. Tepatnya di sebuah rumah panggung di pinggir laut, di ujung negara ini. Sebuah rumah yang kemudian menjadi tempat tinggal kami selama 50 hari di sana. 
                Satu foto yang begitu menarik bagi saya. Sebuah foto yang ia unggah pada tanggal 15 Desember 2018. Sebuah perahu kecil di tengah laut. Perahu yang mengantarkan kami meninggalkan lokasi KKN kami saat itu. Satu hal yang menarik di balik perahu mungil tersebut. Ialah Kepala Desa Liang Bunyu –  jika  di sana kami memanggilnya dengan “Pak Desa” – orang yang mengantarkan kami ke dermaga, yang mencarikan perahu tersebut khusus untuk kami, dan yang melambaikan tangannya untuk kami sebagai tanda perpisahan hingga perahu kami menjauh dari dermaga. 

Postingan Heri di Instagram

                Masih membekas di ingatan bagaimana sambutan beliau saat kami menginjakkan kaki pertama kali di desa tersebut. Saat itu, hari pertama kami berangkat ke sekolah untuk program mengajar. Sesuai petunjuk seorang teman, sekolah dasar yang akan kami tuju hanya dekat saja, katanya. Berhubung di posko kami tidak memiliki sepeda motor untuk mobilisasi ke mana-mana, jadilah kami berjalan kaki menuju sekolah yang katanya dekat saja tersebut. Setelah kira-kira hampir 1 km lebih kami berjalan kaki, melintaslah Pak Desa dan Ibu Desa dengan sepeda motornya.
“Mau ke mana, Dek? katanya saat itu.
“Ke SD Insan Mulya, SD Negeri 2, sama SD Muhammadiyah, Pak,” jawab kami.
“Jalan kaki kah?”
“Iya, Pak. Kami jalan kaki ke sana,”
“Siapa yang ke SD Muhammadiyah? Ini pakai saja motor,” sarannya kepada kami.
“Tidak usah, Pak. Kami jalan kaki saja,” jawab kami dengan percaya diri.
“SD Muhammadiyah masih jauh di sana,”
“Masih berapa kilo memang, Pak?”
“Ya sekitar 4 km kalau SD Muhammadiyah,” jawabnya.
Menelan ludah saya mendengarnya. Mulai hari itu, saya memutuskan untuk lebih berhati-hati jika ada seseorang yang bilang “dekat saja” pada saat menunjukkan sebuah jalan di sana. Namun di samping itu, sejak saat itu, dengan kebaikan hatinya, kami diberi pinjam dua motor untuk kami gunakan selama kegiatan di desa tersebut.
Pak Desa suka sekali berkunjung ke posko kami. Hampir selalu beliau membawa buah tangan untuk kami, apapun itu, yang sering adalah pisang goreng. Laki-laki yang berhobi main badminton ini sering mengajak kami mengobrol membahas isu apapun di posko, hingga larut malam. “Menjadi pemimpin itu tidak mesti harus diperlihatkan,” katanya suatu malam. Masih ingat betul saya saat beliau mengatakan hal tersebut. Beliau sangat rendah hati.
Banyak warga sana, bahkan ada juga dari luar desa yang bilang kepada kami, “beruntung kalian punyak kades seperti Pak Desa”. Ya, memang, kami merasa beruntung memiliki kepala desa yang begitu baik kepada kami. Tak jarang, program-program yang kami bawa ke sana selalu didukung dan dibantunya. Saudara Sebatik Festival merupakan salah satu kegiatan yang menjadi saksi bisu bagaimana baiknya Pak Desa dan tim huru-haranya saat ikut langsung turun tangan membantu kelancaran program kami. Mulai dari pemaparan program, peminjaman alat, hingga pengerahan masyarakat untuk ikut meramaikan.
Masih banyak sekali kebaikan Pak Desa untuk kami. Menjelang kami pamitan di desa, beliau pulang dari Nunukan dan membeli satu kardus oleh-oleh yang diberikannya kepada kami. Untuk oleh-oleh di Jogja, katanya.  Saya berdoa, agar beliau selalu berada dalam lindungan Sang Maha Pemberi Hidup.
Hingga puncaknya adalah tanggal 8 September 2018. Pagi itu, beliau datang ke posko kami dengan mengenakan baju yang sama yang ia kenakan saat pertama kali menjemput kami di dermaga, pada tanggal 21 Juli 2018, kaos hitam polos. Entah suatu kebetulan atau memang beliau sengaja dengan hal itu. Awalnya hari itu terasa biasa saja, mata saya masih biasa, belum ada air yang muncul dari sana. Kami berpamitan dengan nenek, ibu Pak Desa yang tinggal di rumah tersebut dengan kami selama 50 hari. Juga dengan Aqila dan Qaila, keponakan Pak Desa yang juga sering menemani hari-hari kami di sana. Qaila diam saja saat kami berpamitan, mungkin juga karena faktor demam yang ia rasakan saat itu. Setelah berpamitan, kami pergi menuju dermaga dekat rumah.
Bersama Pak Desa, Nenek, dan Qaila

Dengan diantar dan dibantu oleh Pak Desa, barang-barang kami masukan ke dalam perahu mungil yang menunggu kami di sana. Perahu yang akan mengantar kami menuju pelabuhan di Nunukan sebelum nantinya menuju Tarakan dan terbang pulang ke Jogja. Sampai di cerita ini, sekali lagi, mata saya masih baik-baik saja. Hingga akhirnya, satu per satu dari kami berpamitan dengan beliau, lalu masuk ke dalam perahu. Tinggalah di sana, beliau seorang diri, yang kemudian melambaikan tangannya untuk kami sebagai tanda perpisahan. Dari dalam perahu, saya terharu. Ada perasaan sedih menyelinap di rongga dada, masuk tanpa ijin. Hingga memaksa turun air mata yang saya tahan ketika melihat lambaian tangan itu. Dalam hati, saya sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan orang baik seperti beliau.
Terima kasih, Pak Manshur. Salam hangat dari kami, yang selalu merepotkan Anda saat kami berada di sana. 
Pasukan Liang Bunyu (14 dari 28)

Komentar

  1. Jadi teringat aku dan temen temen kita yang suka niruin gaya bicaranya pak kades, duh maafkeun kami durhaka pak hehehe semoga bapak selalu di beri keberkahan dan kebahagiaan. Mbok lif bikinlah cerita banyak banyak, entah kenapa selalu senang membaca kenangan di sebatik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahahaha ditulis biar ga lupa, dekpin. Tapi kitab ijoku dah ilang itu, ada banyak di sana sebenernya haha

      Hapus
  2. lanjutin lif, sekalian aja sebatik vol.2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pasti ini bukan manusia. Soale tanpa dosa hahaha

      Hapus

Posting Komentar