Persku, Persmu, Pers Kita Semua

Sumber: Google Image
Lengsernya rezim Orde Baru digadang-gadang menjadi tonggak kebebasan pers di Indonesia. Kebebasan media massa dalam pemberitaan pada zaman Orde Baru sifatnya represif, berbeda dengan zaman ketika Orde Baru telah lengser. Melalui Departemen Penerangan, pemerintah siap memberedel media massa yang pemberitaannya menyinggung pemerintah. Maka dari itu, media massa harus pintar memilih isi pemberitaan jika tidak ingin mendapatkan ancaman pemberedelan.

            Selain membatasi kebebasan pers, rezim Orde Baru juga bersifat represif terhadap aspirasi pekerja media. Satrio Arismunandar dalam tulisannya “Serikat Pekerja Media, Kekerasan Simbolik, dan Prospek Masa Depan” di buku Orde Media menulis, bahwa pada lengsernya rezim Orde Baru, serikat pekerja media di Indonesia mulai berkembang. Satrio juga menulis data yang dihimpun oleh Federasi Serikat Pekerja Media Indipenden (FSPMI) dan AJI, pada September 2012 tercatat  ada 34 serikat pekerja media: 23 di media cetak, 5 di media televisi, 2 di media radio, 2 di media online, dan 2 di kantor berita (Lembaga Kantor Berita Nasional Antara dan Kantor Berita Radio 68H).
            Berbicara mengenai pers maupun media, tentu hampir tidak pernah luput dengan mempertanyakan tentang keindipendenan suatu media tersebut. Karena sejatinya media massa adalah media penyambung lidah rakyat untuk mengkritisi kinerja pemerintah, begitu juga menjadi penyambung mengenai kebijakan pemerintah kepada rakyat. Akan tetapi, menilik pers dan media massa saat ini, rasanya sulit untuk mengatakan bahwasannya pers dan media massa yang ada merupakan media yang indipenden sepenuhnya. Seperti pandangan professor jurnalisme di Universitas Missouri, John C. Merril dalam buku Basic Issues in Mass Communication yang dikutip oleh Wisnu Prasetya Utomo dalam analisisnya “Suara Pers, Suara Siapa?” di laman pindai.org, bahwa objektifitas jurnalisme adalah hal yang tidak mungkin atau dengan kata lain, mustahil. Dari mulai seleksi isu yang diberitakan, pemilihan narasumber, penentuan kata sampai strategi penulisan berita adalah sebuah tindakan ideologis yang didasari subjektifitas wartawan dan media.
            Pemilihan Umum 2014, misalnya. Alih-alih memberikan informasi yang membantu khalayak untuk menilai masing-masing calon, mayoritas media massa yang ada malah seolah-olah berlomba untuk menonjolkan keberpihakannya terhadap suatu kepentingan politik. Tidak jarang juga media massa berhasil menghegemoni masyarakat, hal ini bisa diamati dengan banyaknya masyarakat yang hanya berpacu pada salah satu media massa yang tentu saja media yang menampilkan lebih banyak kebaikan dari kepentingan politik yang didukung, terlepas dari seberapa kuat keakuratan pemberitaan tersebut.
 Hingga pada akhirnya, khalayak tentu berharap banyak pada pers di era sekarang. Khalayak menginginkan pemberitaan yang berimbang, dan tidak dicampuri oleh kepentingan dari kelompok manapun. Sehingga, pers era sekarang bukanlah pers milik kelompok A ataupun pers milik kelompok B, tetapi pers milik kita semua. Semoga.

- Ditulis pada Februari 2015

Komentar