Kancil dan Tarzan: Sebuah Analogi

Bersama Surayah
“Waktu akan membuatmu lupa, tapi menulis akan membantumu mengingatnya.”

            Minggu, 26 Februari 2017. Pukul 08.50 WIB aku sudah mendaratkan kakiku di sana. Di sebuah halaman parkir sebuah gedung megah di Jalan HOS Cokroaminoto. Halaman parkir yang tak begitu luas namun cukup untuk menampung beberapa kendaraan bermotor itu tempatku menunggu dibukanya gerbang menuju sebuah seminar kepenulisan. Di depan halaman parkir tersebut berdiri dengan megahnya sebuah gedung bertuliskan: SMA N 1 Yogyakarta.

Manusia-manusia berkaos hitam dan merah muda terlihat bersliweran ke sana ke mari. Mayoritas dari mereka, tangan kanan sibuk mengutak-atik HT, sedang tangannya sebelah kiri dibiarkannya tergantung di sana, di tempatnya tanpa melakukan aktivitas yang berarti. Sesekali mereka membungkuk dan tersenyum jika berpapasan dengan orang lain, dan tangan kirinya dibuatnya bergerak sedikit ke depan sebagai bahasa tubuh: permisi.
Kurang lebih pukul 09.00 WIB, gerbang pendaftaran ulang pun dibuka. Kami, para peserta dipersilakan masuk dan mengantre oleh mereka, manusia-berbaju-hitam-dan-merah-muda, yang kemudian kami mengenalnya sebagai panitia penyelenggara. Antrean pun sudah memanjang bak ibu-ibu antre membayar belanjaan ke kasir ketika di pusat perbelanjaan. Karena mayoritas dari kami adalah perempuan, sejauh pengamatanku seperti itu. Sesampainya kami di meja registrasi, mbak-mbak panitia dengan sopannya menanyakan, “VIP atau regular?” dan “Untuk berapa orang? Dua?” kepada para peserta yang telah berdiri di hadapannya.
Sejurus kemudian, setelah mendapatkan goodie bag-ku, aku bergegas menuju sebuah ruangan yang telah ditunjukkan oleh panitia. Sebuah aula berukuran cukup luas itulah tempat kami mengikuti seminar kepenulisan. Barisan kursi-kursi berjajar rapi di sana. Sebuah panggung beserta alat-alat penunjangnya seperti sound dan banner bertuliskan: LITERALOGI terpampang di belakang panggung. Dan aku menuju ke kursiku. Kursi nomor 34. Lumayan dekat dengan panggung. Namun, dekat atau tidak dengan panggung, bagiku itu tak terlalu berpengaruh, karena nantinya kami juga akan merapat ke depan panggung dan lesehan.
Setelah menunggu dan melewati beberapa agenda, acara inti pun tiba. Tepuk tangan dan riuh rendah peserta seminar mengisi ruangan tersebut. Kemudian pria bertopi dengan setelan baju dan celana yang berwarna senada memasuki ruangan aula tersebut dari belakang menuju ke arah panggung. Voilaaa! Dialah Pidi Baiq. Seseorang yang mengaku sebagai imigran dari sorga yang diselundupkan oleh ayah dan ibunya di kamar pengantin yang sedang tegang ketika itu. Sesuai jadwal, Pidi Baiq yang akan mengisi seminar kepenulisan ini. Pidi Baiq akan bercerita panjang lebar kali tinggi terkait kepenulisan pada umumnya dan  penulisan buku Trilogi Dilan pada khususnya.
Quotes di atas tulisan ini merupakan kalimat yang sempat dilontarkan oleh Ayah, begitulah panggilan akrab Pidi Baiq, di tengah-tengah sesi. Tulisan ini akan sedikit banyak menceritakan kembali tentang apa yang berhasil aku catat selama sesi itu berlangsung. Karena seperti yang Ayah Pidi katakan, “Waktu akan membuatmu lupa, tapi menulis akan membantumu mengingatnya.” Jadi terlalu sayang jika apa yang dibagikan oleh Ayah Pidi hanya berlalu begitu saja. Bagiku seperti itu, entah jika bagimu.
Di dalam aula tersebut, mayoritas dari kami adalah pembaca Dilan, yang notabene adalah wanita yang mengelu-elukan Dilan. Di mata pembaca, Dilan adalah sosok yang sangat “langka” di dunia ini. Sepertinya kita sepakat akan hal ini. Pun dengan hal-hal yang dilakukannya untuk Milea dan orang-orang di sekitarnya. Pidi Baiq secara langsung menjelaskan mengenai penulisan Dilan yang hingga akhirnya akan diangkat ke layar lebar. Tak sedikit yang meragukan dan mengkhawatirkan rencana ini. Mereka khawatir jika nantinya film Dilan tak sesuai dengan ekspetasi yang ada di dalam novel. Namun Pidi Baiq berhasil meyakinkan, bahwa film Dilan tak akan mengecewakan karena mulai dari pemilihan tokoh, penulisan skenario, hingga pengambilan gambar, dirinya akan terlibat secara langsung di dalamnya.
“Menulislah dengan caramu sendiri. Kamu bukan Dee Lestari atau siapa pun.” Selanjutnya, Pidi Baiq menganalogikan gaya penulisan dengan analaogi kancil dan tarzan. Katanya, kancil mempunyai cara sendiri untuk menyebrangi sungai, pun dengan tarzan. Kancil memanfaatkan buaya, sedang tarzan memanfaatkan akar gantung pohon untuk ke mana-mana. Aku setuju dengan hal ini, karena menurutku, setiap orang punya kapasitas dan ruang masing-masing. Menulislah dengan caramu sendiri. Noted.
Terkait dengan The Panas Dalam Publishing, Pidi Baiq mengaku dirinya mendirikan The Panas Dalam Publishing tersebut dengan tujuan supaya bukan hanya dirinya saja yang dianggap sebaga penulis. Karena orang lain juga penulis. Dia berharap, dengan adanya The Panas Dalam Publishing semakin banyak orang-orang yang membukukan karyanya. Bahkan beberapa kali, Ayah menuturkan, “Kalo ke Bandung, mampir saja ke Rumah The Panas Dalam, kita ngobrol-ngobrol di sana. Aku sih berharap bisa diundang lagi ke sini, biar kita bisa belajar menulis sama-sama.”
Sesi inti semakin seru dengan semakin beragamnya pertanyaan yang diajukan oleh para peserta. Aku pun selalu senang dengan jalan pikiran dan setiap penuturan yang terlontar dari Ayah Pidi. Bagiku, selalu menyenangkan mengikuti setiap apa yang Ayah bicarakan. “Aku mah enggak marah kalau ada yang bilang aku jelek. Memang kenyataannya begitu. Aku selalu nulis di twitter kalau aku akan mendapatkan jatah makan dari petugas kebun binatang. Ketika nanti aku dibilang, Pidi kayak monyet, aku enggak akan marah karena aku mengakuinya,” tutur pria yang selalu antusias di setiap waktunya menjawab pertanyaan yang masuk.
Aku senang bisa hadir di sana pada saat itu. Aku senang bisa mendengarkan secara langsung kelakar sekaligus wejangan yang sangat bermanfaat dari sosok Pidi Baiq, yang tadinya hanya ketawa-ketiwi geli membaca setiap cuitannya di twitter. Aku senang menghabiskan waktuku selama kurang lebih dua jam untuk mendapatkan semua itu.
Seminar kepenulisan lalu ditutup dengan penandatanganan buku dan sesi foto bersama.

Terima kasih, Surayah. Aku senang! 

Komentar

Posting Komentar