Membaca Media Melalui “Suara Pers, Suara Siapa?”



 
Buku "Suara Pers, Suara Siapa?"
Saya awalnya hanya membaca sebuah artikel “Suara Pers, Suara Siapa?” di laman pindai.org pada saat itu. Saya tertarik untuk membacanya karena isi pembahasan artikel tersebut kebetulan sesuai dengan apa yang sedang saya pelajari di bangku kuliah. Pembahasannya tidak lain dan tidak bukan yaitu mengenai media-media yang kian marak pada saat ini dan pengaruhnya terhadap publik. Saya tentu sangat tertarik ketika mendengar kabar bahwa buku kumpulan tulisan terkait isu media yang ditulis oleh seorang peneliti di pusat kajian media dan komunikasi, Remotivi, Wisnu Prasetya Utomo, yaitu “Suara Pers, Suara Siapa?” akan segera diterbitkan. Didesak dengan rasa penasaran dan kurangnya asupan buku mengenai kajian media, akhirnya saya memutuskan untuk membelinya.

            Judul Buku      : Suara Pers, Suara Siapa?
            Penulis             : Wisnu Prasetya Utomo
            Penerbit           : Pindai
            Tahun Terbit    : 2016
            Jumlah halaman: xvi – 205 halaman
            Jenis Buku       : Nonfiksi / Jurnalisme

Membaca Media Melalui “Suara Pers, Suara Siapa?”
Oleh : Kurniasari Alifta Ramadhani
            Media. Di dalam sebuah negara demokrasi, peran media sangatlah penting. Tanpa adanya suatu media, komunikasi antara pemerintah dan masyarakat tentu akan terganggu, mengingat posisi media berada tepat di tengah-tengah antara pemerintah dan masyarakat. Berbicara mengenai media, setiap dari kita pasti mempunyai pandangan tersendiri terhadap media dan konten-kontennya. Tentu setiap dari kita juga mengharapkan adanya suatu informasi yang kita dapatkan ketika “mengonsumsi” media setiap harinya. Namun, apa jadinya jika melihat media dan perilaku pemiliknya di era sekarang? Entah disadari atau tidak, kita sebagai konsumen dari media tersebut sudah dihegemoni oleh mereka. Melihat hal tersebut,  tugas publik sekarang ialah meningkatkan kehati-hatian dan daya kritis mereka terhadap media.

Demikianlah, kita membutuhkan banyak pengamat media untuk menunjukkan kepada media bahwa masyarakat juga mengamati medianya, supaya tidak menulis berita serampangan, jangan menganggap bahwa para pembaca ini lebih bodoh dari mereka yang menulis berita, dan juga supaya suatu saat ada orang yang akan mengatakan kepada si pemilik media (yang culas, licin, dan gemar narsis di kandang sendiri): “Sudahlah bro… Ga ngefek juga kawan…” – Ignatius Haryanto, “Suara Pers, Suara Siapa?”

            “Suara Pers, Suara Siapa?” merupakan buku yang ditulis oleh Wisnu Prasetya Utomo, seorang peneliti di pusat kajian media dan komunikasi, Remotivi. Buku yang diterbitkan oleh Pindai pada Maret tahun 2016 ini berisi 27 tulisan tentang media yang Wisnu tulis selama tahun 2010-2016. Isi dari buku ini dibagi menjadi tiga bagian atau tiga bab. Bagian pertama yaitu Politik, Agama, dan Komodifikasi Layar Kaca, bagian kedua, yaitu Ekonomi Politik Media, dan terakhir yaitu berisi tentang Media dan Etika Jurnalisme.
            Di dalam buku “Suara Pers, Suara Siapa?” ini Wisnu membahas beberapa hal, antara lain tentang komodifikasi yang dilakukan di beberapa program televisi, senjakala media cetak, hingga mempertanyakan kenetralan suatu media. Pada bagian awal, Wisnu membahas hal-hal yang dijadikan bahan komodifikasi oleh televisi yang disadari atau tidak oleh para penonton, hal ini telah menguntungkan para pemilik televisi karena meraup keuntungan yang besar dari program-program tersebut. Berbeda dengan pihak televisi yang meraup keuntungan banyak dan juga rating, para penonton tidak mendapatkan apa-apa dari kegiatan mereka menonton program tersebut. Menjadi lebih “manutan”, iya. Oleh karena itu, Wisnu dalam paragraf akhir di beberapa tulisannya mengharapkan campur tangan yang lebih tegas dari KPI guna meminimalisir dampak-dampak negatif yang kemungkinan muncul dari program-program televisi tersebut.

            Pada titik inilah sekali lagi, kita berharap KPI mampu menegakkan regulasi dan berpihak kepada masyarakat. Bersama elemen masyarakat sipil, KPI mesti bersikap tegas agar kampanye dan tayangan-tayangan politik melalui televisi bisa mencerdaskan publik, bukan membodohi. – Wisnu Prasetya Utomo, “Suara Pers, Suara Siapa?”

             Selain tentang komodifikasi, di dalam beberapa tulisannya, Wisnu menyinggung tentang kenetralan suatu media dalam meliput suatu isu dan memberitakannya kepada publik. Terdapat beberapa analisis yang dilakukan oleh Wisnu dalam tulisan-tulisannya di buku ini. Saya sendiri merasa suka ketika membaca tulisannya yang berjudul “Prasangka Suara Merdeka di Urut Sewu”. Saya hanya bisa nyengir dan bergumam “asem, iya ya,” ketika membaca ending dari tulisan tersebut. Sebenarnya, tidak hanya tulisan tersebut yang membuat saya bergumam seperti itu, namun masih terdapat tulisan-tulisan di dalam buku ini yang membuat saya nyengir dan bergumam, “welok, kok bener” ketika membacanya.
            Tidak berhenti di situ, Wisnu juga menyoroti media-media online dalam mengangkat suatu berita, di mana masih banyak dari mereka yang masih lalai dalam melakukan verifikasi data. Selain itu, dengan tidak adanya cover both sides di dalam berita mereka, dikhawatirkan akan menimbulkan pemahaman yang salah di dalam masyarakat. Lagi-lagi, saya cuma bisa nyengir ketika membaca tulisan yang berkaitan dengan ini, dan berharap semua masyarakat mampu lebih berhati-hati dalam “mengonsumsi” suatu berita.
            Kemudian, seperti yang telah disebutkan Wisnu dalam pengantarnya, bahwa di dalam buku ini terdapat beberapa pengulangan ide dan juga kutipan di beberapa tulisannya. Namun, terlepas dari itu semua, analisis-analisis yang dibuat, cukup menyadarkan saya bahwa objektivitas di dalam tubuh suatu media masih patut untuk dipertanyakan adanya.
            Sebagai mahasiswa baru yang sedang belajar tentang seluk beluk media, menemukan buku ini dan ditambahkan di rak buku merupakan suatu hal yang menggembirakan bagi saya. Bentuknya memang minimalis namun isi di dalamnya sarat akan pengetahuan dan referensi yang luar biasa. Membaca buku ini, sama saja menyadarkan saya bahwa referensi buku saya terkait media sangatlah kurang. (hehehehehe)
            Jadi, bagi kalian yang ingin mengetahui lebih dalam seluk beluk media dan pengaruhnya terhadap publik, buku “Suara Pers, Suara Siapa?” dapat dijadikan tambahan daftar bacaan di rak buku kalian.

Pada momen krusial semacam ini, kita tentu berharap pada negara untuk menegakkan regulasi dan melindungi publik. Atau kalau negara memang sudah segendang sepenarian dengan derap kapital, harapan tersisa hanya kepada publik agar tayangan semacam itu tidak berulang setiap tahun. Bagaimana? – Wisnu Prasetya Utomo, “Suara Pers, Suara Siapa?”

Komentar