#1: Badai di Tanah Orang



Berfoto di depan posko
Suara angin itu membangunkan tidur secara paksa. Saya yang selalu was-was dengan hujan di malam hari, seketika terbangun dan mengenakan pakaian jaket ketika mendengar desis angin yang kian lama kian kencang. Ketika kebanyakan orang menyukai hujan di  malam hari, saya merasa saya sebaliknya dari mereka. Sejak kecil saya selalu berpikir berlebihan ketika mendengar suara hujan turun di malam hari, apalagi jika disertai angin. Seperti malam itu.

                Rumah yang kami tinggali adalah rumah kayu, jika masyarakat di sini menyebutnya. Rumah kayu yang dimaksud ialah rumah panggung yang terbuat dari kayu ulin. Rumah tersebut cukup luas dibandingkan rumah-rumah yang lain di kampung itu. Cukup untuk menampung saya beserta ke-13 kawan yang lain. Hanya terdapat dua kamar di sana. Saya bersama lima kawan perempuan tidur di salah satu kamar di rumah itu. Dinding kamar itu kayunya tidak rapat antara satu sama lain. Masih terdapat celah beberapa di sana sini. Sehingga sejak malam itu, ketika hujan turun, apalagi jika datang bersama angin, kami harus siap siaga untuk memindahkan koper dan barang-barang kami yang berada di dekat dinding agar tidak terkena tempias air hujan.
                Seketika saya terbangun dan mengenakan jaket saat mendengar desis angin di luar semakin kencang. Ternyata gerak gerikku, atau entah karena desisan angin yang terlampau kencang, membuat kawanku terbangun juga dari tidurnya. Sesaat setelah menyadari bahwa koper terkena tempias air hujan, kami langsung beramai memindahkannya ke tempat yang dirasa cukup aman. Evakuasi, kami menyebutnya.
                Ternyata bukan hanya perasaan saya saja yang menganggap bahwa hujan dan angin tersebut begitu kencang. Malam itu, kami saling membangunkan untuk mengamankan barang satu sama lain. Suara ombak pantai di pinggir rumah kami terdengar sedang pasang. Malam menjelang subuh itu kami merapat di ruang tengah. Mencari sandaran ternyamannya masing-masing untuk tidur.


 
                                          Video oleh Opiq, teman satu posko


                Sejak subuh itu, subuh 28 Juli 2018 menjadi waktu kali pertama kami merasakan badai di tanah orang. Pulau Sebatik, saya mendengar bahwa cuaca di sini memang berbeda. Siang panas sekali, malam bisa jadi badai datang tanpa diundang. Bisa dibayangkan bagaimana panasnya cuaca di sana dengan suhu minimal 28 derajat celcius tiap harinya. Salut saya dengan mereka yang berada di sana.
50 hari menjalani kehidupan Kuliah Kerja Nyata di Sebatik Barat ini banyak sekali membuahkan cerita di benak. Bukan, bukan hanya tentang cerita perjalanan menggunakan Hercules. Lebih dari itu. 14 manusia dengan 14 karakter bersatu dalam satu rumah. Mengesankan. Ada yang bilang, KKN itu membosankan, tapi tidak bagiku. Terima kasih untuk segala keluh kesah dan rentetan cerita yang begitu menyenangkan. Buang air besar di masjid, ngeprint di kantor desa, fotocopy di Binalawan, mengupas udang, terkena badai, dan segala cerita yang terkadang malas dilakukan tapi menyenangkan jika dikenang. 
------------------- 
 
Posko tampak samping
Selama di sana, saya sudah menulis banyak hal yang saya alami di buku harian. Sialnya, menjelang pulang, buku itu entah di mana keberadaannya. Jadilah saya menyesal sekali karena tidak menyimpan buku itu baik-baik. Sebetulnya masih banyak hal-hal yang perlu saya ceritakan di sini. Di antaranya ialah bagaimana saya bisa bertemu manusia-manusia baik di sana. Bertemu dengan Kepala Desa yang begitu baik hati dan bersahabat, bertemu dengan Mami Nia yang lewat pertemuan tanpa sengaja, kami sering diundang ke rumahnya untuk sekadar bakar-bakar sate. Pun dengan para tetangga di sana. Ingatkan saya untuk menceritakannya di sini :)

Komentar