Secuil Jejak Sinawang di Astana Giribangun

8 April 2018. Di Astana berdelapan minus Okik dan Nisa

8 April 2018
Pagi itu, selepas subuh, mobil yang kami tumpangi telah melaju di jalan Yogyakarta – Karanganyar. Dengan menahan posisi duduk yang berdempetan, kami bersuka cita menyambut perjalanan kami ini. Perjalanan selama kurang lebih tiga jam tersebut nantinya akan menjadi sebuah cerita perjalanan yang lucu bagi kami.
                Jalanan masih sepi, matahari pun masih malu-malu untuk menampakkan dirinya. Pun kami, ada yang masih menahan kantuk pagi itu. Kami berdelapan orang berangkat ke Karanganyar memang pagi-pagi sekali. Tujuan kami hari itu adalah Astana Giribangun. Makam keluarga Soeharto, presiden Republik Indonesia ke-2. Berbekal teknologi canggih bernama Google Maps, kami mengikuti alur jalan yang ada. Beberapa kali kami harus mencari jalan lain karena jalan utama digunakan untuk Car Free Day.
                Sekira pukul 09.00, mobil sewaan yang kami tumpangi telah sampai di lokasi, setelah sebelumnya melewati jalanan yang super menanjak. Istighfar dalam hati kami dibuatnya. Tiba di lokasi, aku melihat sekeliling kami, tampak banyak sekali rombongan bapak-bapak dan ibu-ibu dengan balutan busana muslim di sana. Belakangan baru aku sadari, bahwa rombongan bapak ibu tersebut merupakan rombongan jamaah yang hendak melakukan ziarah ke Astana Giribangun.
                Perjalanan kami ke Astana bukanlah perjalanan tanpa tujuan. Mengikuti perjalanan orang adalah tujuan kami. Memang, sudah beberapa bulan terakhir sebelum ke Astana, kami telah menjadi penguntit hidup beberapa orang. Dan hari itu, kami melanjutkan penguntitan kami terhadap beberapa orang untuk hari yang kesekian. Sebelum hari itu tiba, kami memang telah merencanakannya. Oleh karenanya, kami juga telah mempersiapkan alat-alat dan perlengkapan lain yang sekiranya kami perlukan, antara lain yaitu seperangkat kamera dan tim horenya.
                Kami memang terlalu pagi sampai di lokasi. Pasalnya, rombongan jamaah ziarah yang akan kami ikuti belum tiba di sana, malah bisa diperkirakan mereka akan tiba di Astana pada pukul malam hari. Lalu kami? Ha yo liburan dulu. Jalan Karanganyar – Magetan adalah tujuan tanpa arah kami waktu itu. Kanan kiri jalan penuh dengan pemandangan. Kami berhenti di sebuah warung kopi di pinggir jalan. Sambil menunggu rombongan mendekati Karanganyar, kami bersantai sembari menikmati pemandangan di sana. Setelah puas dan ketakutan ketinggalan rombongan, kami pun kembali ke Astana. Mobil dengan muatan yang sesak itu akhirnya membawa kami kembali ke parkiran bus Astana.
                Jam menunjukkan waktu ashar, sedangkan ketua rombongan baru saja mengabarkan bahwa mereka saat itu masih di daerah Jawa Timur. Hehe untungnya kami adalah manusia-manusia yang sabar. Jadilah kami menghabiskan waktu di sana dengan memesan bakso dan sate, bermain tebak-tebakan di mobil, bermain werewolf (bahkan bapak warung di sana meminjami kami tikar untuk duduk menunggu sambil bermain), dan hal-hal lainnya, untuk menunggu bis rombongan datang.
                Setelah kurang lebih enam jam kami menunggu, bis rombongan pun datang. Aku tertawa jika teringat hal ini. Semua panik, campers, sutradara, dan produser langsung lari mengambil kamera dan menghampiri bis. Barang-barang dan tikar kami bereskan, kemudian kami masuk ke dalam mobil untuk selanjutnya mengikuti rombongan naik ke atas Astana.
                Malam itu seperti biasa, banyak hal yang terjadi ketika kami melakukan proses shooting. Sedikit panik, emosi, dan puas menjadi satu. Hal itu untungnya sudah biasa terjadi di dalam siklus kerja kelompok kami. Di Astana, kami bersalaman dan bercengkerama dengan mereka, manusia-manusia baik yang terlalu sabar menghadapi polah kami selama kurang lebih tiga bulan. Setelah semua selesai, kami kembali ke mobil kami. Pun dengan mereka, kembali ke dalam bis mereka.
                Pukul 22.30, sebelum mobil tancap gas, kami telah hompipah terlebih dahulu untuk menentukan posisi duduk. Maklum, kami selalu memperebutkan posisi tengah, karena tidak tahan duduk di baris belakang dengan kaki terjepit selama kurang lebih tiga jam perjalanan pulang.

Pasukan Pengantar Rombongan Ziarah (7 April 2018)
                Perjalanan tersebut baru secuil cerita perjalananku bersama kawan-kawan di balik pembuatan Film Sinawang. Dam cerita di atas, baru secuil dari sekian cerita yang ada di dalam Film Sinawang. Setelah melalui tahap riset selama satu semester di semester lima dan proses produksi selama satu semester di semester enam. Setelah ke sana ke mari mencari museum yang sepi pada awalnya, bolak balik Dusun Bibis, Monumen Bibis, sowan Mbah Dullah, Pak Paijo, Pak Ahmad, Keluarga Bu Sumirah, pada akhirnya. Hingga tahap revisi skrip, menginap masjid kampus, sambat ngeluh sana sini, pada akhirnya Film Sinawang resmi dirilis untuk pertama kali dalam acara Parade Dokumenter (PARADOK) 2018 dan berjumpa dengan kurang lebih 350 penonton di Taman Budaya Yogyakarta pada 9 Mei 2018 kemarin.



Semester enam memang ladang yang teramat luas untuk dipijak, bertemu dengan manusia-manusia baik, manusia sabar, manusia tangguh adalah bonus pada semester ini. Hingga pada akhirnya, Sinawang adalah salah satu tumbuhannya yang terbuat dari sedikit sambat, banyak tawanya. Insyaallah. Terima kasih atas segala proses yang ada. Aku sayang.


Poster Film Sinawang
 
Broadcasting 2015
Tim Sinawang (Bidik Time Cinema)

Komentar

  1. CERITANYA JANGAN BERHENTI SAMPAI DI SINI LIF! DI TUNGGU CERITA-CERITA PERJUANGAN BIDIK TIME CINEMA YANG LAIN :DD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh hahahaha berasa perang mam. haha suwun hamamm 🍦

      Hapus

Posting Komentar