Malam 10 Januari di Kaliurang

Ramai-ramai
 Malam 10 Januari 2018 di Kaliurang begitu dingin.

                Saya melangkahkan kaki menghampiri Sang Merah Putih. Dengan menahan dingin setelah tangan dan wajah terbasuh air beberapa detik sebelumnya, pikiran saya terbang menghampiri ingatan 5 tahun lalu. Prosesi penghormatan bendera mengingatkan saya ketika pengukuhan Paskibraka kala itu. Begitu khidmat.
                Dua hari sebelumnya, di sebuah tempat yang lumayan luas, saya bersama dengan 28 kawan baru—yang kelak akan menjadi bagian dari perjalanan kurang lebih satu tahun atau bahkan lebih—dikumpulkan menjadi satu. Seharusnya kami bertiga puluh orang. Saya menengok sekeliling, tempat yang lumayan bagus untuk kami singgahi beberapa hari ke depan. Sebelah selatan lapangan terdapat rumah bersusun dua lantai dan berdinding kayu. Rumah tersebut yang akan menjadi tempat tidur kami. Sedang di utara lapangan, terdapat sebuah aula pertemuan berdinding kayu yang cukup luas, memanjang lebih tepatnya. Beralaskan tikar, yang kemudian kami ketahui tempat tersebut merupakan tempat yang kami gunakan untuk menerima beberapa materi dan juga sekaligus untuk kami beribadah.

                Jauh-jauh hari sebelum berada di sini, saya—atau mungkin juga sebagian besar kawan saya—telah memperkirakan hal-hal apa yang akan terjadi di tempat ini 3 hari 3 malam nantinya. Layaknya pelatihan yang dilakukan oleh mahasiwa pada umumnya, mungkin akan sedikit menegangngkan, pikir saya. Malam pertama saya lewatkan dengan grundelan dalam hati, karena saya lupa tidak membawa suatu barang kecil namun sangat berharga. Kaos kaki. Saya lupa tidak membawa kaos kaki. Terpaksa saya tidur njingkrung dengan satu jaket yang saya bawa. Dingin. Seperti biasa, Kaliurang begitu dingin malam itu.
                Hari kedua, kami bersama para panitia menyelenggarakan bakti sosial ke rumah penduduk di sekitar tempat kami menginap. Bertemu dengan ibu-ibu di sana, saya teringat dengan beberapa tetangga saya yang sudah lansia, yang terkadang menyebut nama saya sering keliru dengan nama Lita, Latifah, atau nama-nama yang lain. Saya jadi menyadari, betapa sulitnya nama saya dilafalkan oleh lidah beberapa orang. Tapi ketahuilah, saya bersama orangtua saya tidak akan pernah berpikiran untuk mengganti nama saya ini. *skip* Para ibu tersebut, mulai dari ibu-ibu muda hingga yang sudah lansia sesekali tertawa kecil ketika mendengarkan tausyiah yang dibawakan oleh salah satu kawan saya. Saya juga ikutan tertawa. Lucu, je

Saya bahagia ketika ini

                Selama 3 hari 3 malam, kami telah melewati beberapa agenda, termasuk pengalaman indah saya ketika memakan sesuatu yang begitu kenyal, dengan bentuk yang tidak begitu panjang, dan hambar. Entah, apakah itu cacing—seperti kata panitia—atau mie instan sesuai prediksi saya. Yang jelas makanan tersebut sudah masuk ke dalam perut saya. Pengalaman menarik. Malam itu, saya melangkahkan kaki menghampiri Sang Merah Putih. Dengan menahan dingin setelah tangan dan wajah terbasuh air beberapa detik sebelumnya, pikiran saya terbang menghampiri ingatan 5 tahun lalu. Prosesi penghormatan bendera mengingatkan saya ketika pengukuhan Paskibraka. Pengukuhan tersebut sudah berlalu 5 tahun yang lalu. 5 tahun lalu, tetapi masih begitu membekas dalam ingatan. Cepat sekali waktu ini berjalan, cepat sekali bumi ini berputar, cepat sekali, kini saya berdiri untuk mengikuti pengukuhan  komunitas pengabdian masyarakat.
Setiap kali saya terlempar ke ingatan masa lalu, saat itu juga saya menyadari, betapa hidup harus terus hidup. Bulan Januari selalu mengesankan bagi saya, setiap tahun. Usia semakin bertambah, pun dengan pengalaman hidup saya. Januari ini saya mulai dengan bertemu dan mengakrabkan diri dengan kawan-kawan perjuangan saya. 2018 telah dimulai. Akankah menjadi jauh lebih baik atau sama saja? Sing penting yakin, pikir saya. 

Terima kasih 2017. Selamat datang dan mari berkawan, tahun (yang akan indah) 2018!

Komentar