Malam 10 Januari di Kaliurang
| Ramai-ramai |
Saya
melangkahkan kaki menghampiri Sang Merah Putih. Dengan menahan dingin setelah
tangan dan wajah terbasuh air beberapa detik sebelumnya, pikiran saya terbang
menghampiri ingatan 5 tahun lalu. Prosesi penghormatan bendera mengingatkan
saya ketika pengukuhan Paskibraka kala itu. Begitu khidmat.
Dua
hari sebelumnya, di sebuah tempat yang lumayan luas, saya bersama dengan 28
kawan baru—yang kelak akan menjadi bagian dari perjalanan kurang lebih satu tahun
atau bahkan lebih—dikumpulkan menjadi satu. Seharusnya kami bertiga puluh
orang. Saya menengok sekeliling, tempat yang lumayan bagus untuk kami singgahi
beberapa hari ke depan. Sebelah selatan lapangan terdapat rumah bersusun dua
lantai dan berdinding kayu. Rumah tersebut yang akan menjadi tempat tidur kami.
Sedang di utara lapangan, terdapat sebuah aula pertemuan berdinding kayu yang
cukup luas, memanjang lebih tepatnya. Beralaskan tikar, yang kemudian kami
ketahui tempat tersebut merupakan tempat yang kami gunakan untuk menerima beberapa
materi dan juga sekaligus untuk kami beribadah.
Jauh-jauh
hari sebelum berada di sini, saya—atau mungkin juga sebagian besar kawan
saya—telah memperkirakan hal-hal apa yang akan terjadi di tempat ini 3 hari 3
malam nantinya. Layaknya pelatihan yang dilakukan oleh mahasiwa pada umumnya,
mungkin akan sedikit menegangngkan, pikir saya. Malam pertama saya lewatkan
dengan grundelan dalam hati, karena
saya lupa tidak membawa suatu barang kecil namun sangat berharga. Kaos kaki.
Saya lupa tidak membawa kaos kaki. Terpaksa saya tidur njingkrung dengan satu jaket yang saya bawa. Dingin. Seperti biasa,
Kaliurang begitu dingin malam itu.
Hari
kedua, kami bersama para panitia menyelenggarakan bakti sosial ke rumah penduduk
di sekitar tempat kami menginap. Bertemu dengan ibu-ibu di sana, saya teringat
dengan beberapa tetangga saya yang sudah lansia, yang terkadang menyebut nama
saya sering keliru dengan nama Lita, Latifah, atau nama-nama yang lain. Saya jadi
menyadari, betapa sulitnya nama saya dilafalkan oleh lidah beberapa orang. Tapi
ketahuilah, saya bersama orangtua saya tidak akan pernah berpikiran untuk mengganti
nama saya ini. *skip* Para ibu tersebut, mulai dari ibu-ibu muda hingga yang
sudah lansia sesekali tertawa kecil ketika mendengarkan tausyiah yang dibawakan
oleh salah satu kawan saya. Saya juga ikutan tertawa. Lucu, je!
| Saya bahagia ketika ini |
Selama
3 hari 3 malam, kami telah melewati beberapa agenda, termasuk pengalaman indah saya
ketika memakan sesuatu yang begitu kenyal, dengan bentuk yang tidak begitu
panjang, dan hambar. Entah, apakah itu cacing—seperti kata panitia—atau mie
instan sesuai prediksi saya. Yang jelas makanan tersebut sudah masuk ke dalam
perut saya. Pengalaman menarik. Malam itu, saya melangkahkan kaki menghampiri
Sang Merah Putih. Dengan menahan dingin setelah tangan dan wajah terbasuh air
beberapa detik sebelumnya, pikiran saya terbang menghampiri ingatan 5 tahun
lalu. Prosesi penghormatan bendera mengingatkan saya ketika pengukuhan Paskibraka.
Pengukuhan tersebut sudah berlalu 5 tahun yang lalu. 5 tahun lalu, tetapi masih
begitu membekas dalam ingatan. Cepat sekali waktu ini berjalan, cepat sekali
bumi ini berputar, cepat sekali, kini saya berdiri untuk mengikuti pengukuhan komunitas pengabdian masyarakat.
Setiap kali
saya terlempar ke ingatan masa lalu, saat itu juga saya menyadari, betapa hidup
harus terus hidup. Bulan Januari selalu mengesankan bagi saya, setiap tahun. Usia
semakin bertambah, pun dengan pengalaman hidup saya. Januari ini saya mulai
dengan bertemu dan mengakrabkan diri dengan kawan-kawan perjuangan saya. 2018
telah dimulai. Akankah menjadi jauh lebih baik atau sama saja? Sing penting yakin, pikir saya.
Terima kasih
2017. Selamat datang dan mari berkawan, tahun (yang akan indah) 2018!
Komentar
Posting Komentar